Rangkuman Sejarah Kelas 11 Bab 2

 

Rangkuman Sejarah Indonesia Kelas 11 Bab 2

Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi Dagang

A.Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan perdagangannya dari Malaka ke Aceh sehingga mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan.

Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur Sumatera sebelah utara bahkan kemudian mampu mengendalikan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera.

Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar (1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai barat Sumatera.

Pedagang-pedagang asing seperti dari Perancis, Inggris, Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan Aceh harus minta izin kepada Aceh.

Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman dan berupaya untuk menghancurkan Aceh.

Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh dan tahun berikutnya melancarkan serangan juga ke Aceh namun mengalami kegagalan.

Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan dengan cara mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada.

Aceh tidak tinggal diam dan menyiapkan beberapa langkah untuk melakukan perlawanan dengan cara:

  • melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit
  • mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567
  • mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara

Kemudian Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka, Portugis bertahan mati-matian di Benteng Formosa dengan mengeluarkan seluruh kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan.

Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.

Disisi lain Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat melakukan monopoli.

Terkait dengan ini para pedagang Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601 yang isinya berupa sanjungan dan pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat Aceh serta menjelek-jelekan Portugis.

Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau”

Pada waktu utusan Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).

Saat itu ultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan Portugis, dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda.

Bahkan pada tahun 1607 Aceh memberikan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku di pantai Barat Sumatera.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat.

Pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan hubungan dan menolak kehadiran VOC.

Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya.

Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka.

Namun, serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka.

Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.

Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 1641, setelah VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.

B.Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521 dan memusatkan aktivitasnya di Ternate.

Tidak lama berselang orang-orang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore.

Sehingga terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.

Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore.

Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis, namun dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan sehingga Portugis menang.

Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku sehingga sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.

Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera diakhiri.

Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian damai antara Portugis dan Spanyol.

Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529.

Isi perjanjian Saragosa adalah Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina.

Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun.

Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis.

Sehingga Portugis kewalahan dan mengajukan perundingan.

Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis.

Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo.

Namun itu hanya tipu muslihat belaka, karena saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh.

Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun).

Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis.

Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate.

Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon.

Pada tahun 1605 Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.

Selain perlawanan diatas, ada beberapa perlawanan lain seperti:

  • tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi
  • tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said.
  • perlawanan yang dilakukan secara gerilya seperti di Jailolo

Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta peralatan senjata lebih lengkap.

Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore yang isinya Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC.

Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore, dimana seharusnya adalah Pangeran Nuku.

Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku.

Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).

Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera, kemudian diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah.

Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC.

Selain itu Sultan Nuku mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur dan mendapat dukungan dari armada Inggris (EIC).

Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda.

Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).

C.Sultan Agung Versus J.P. Coen

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram dan mencapai zaman keemasan.

Ada dua cita-cita Sultang Agung, yaitu:

  • mempersatukan seluruh tanah Jawa
  • mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara

Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agun sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa.

Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia dengan alasan sebagai berikut:

  • tindakan monopoli yang dilakukan VOC
  • VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka
  • VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram
  • keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa

Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia.

Pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.

Pasukan Mataram berusaha membangun pospos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi sehingga terjadi pertempuran.

Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan, seperti pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa dan laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur.

Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram dan Tumenggung Baureksa gugur dalam pertempuran itu.

Dengan demikian, serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.

Namun Sultang Agung tidak menyerah begitu saja dan belajar dari kekalahan sebelumnya.

Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata dan membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon.

Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia dibawah pimpinan:

  • Tumenggung Singaranu
  • Kiai Dipati Juminah
  • Dipati Purbaya

Namun informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC, sehingga VOC kemudian mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram pada tanggal 21 September 1629.

Pasukan Mataram pantang mundur dan berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia serta mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut.

Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal.

Dalam situasi yang kritis ini pasukan VOC semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram.

Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram, sehingga serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan.

Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain sembari berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram.

Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram, namun Sultan Agung yang cerdas itu kemudian menggunakan kemampuan diplomasi.

Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung.

Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh rajaraja pengganti Sultan Agung.

Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.

Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I dan memerintah pada tahun 1646 -1677.

Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC, selain itu raja ini juga bersifat reaksionerdengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama.

Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat, salah satu perlawanan itu dipimpin olehTrunajaya.

D.Perlawanan Banten

Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional sehingga Belanda ingin menguasai daerah tersebut, akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619 dan terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional.

Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten dan bergelar Sultan Abu al- Fath Abdulfatah atau lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan VOC di Batavia.

Kondisi ini sangat tidak disenangi oleh VOC, karenanya VOC sering melakukan blokade dengan cara Jung-jung Cina dan kapalkapaldagang dari Maluku dilarang oleh VOC meneruskan perjalanan menuju Banten.

Sebagai balasan Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia dan juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC.

Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk.

Di tengah-tengah mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji.

Sultan Haji bertugas untuk mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putra lainnya yang bernama Pangeran Arya Purbaya mengurusi urusan luar negeri.

Hal ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya.

Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.

Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat yaitu:

  • Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC
  • monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina
  • Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji
  • pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji

Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten.

Istana Surosowan berhasil dikuasai dan Sultan Haji menjadi Sultan Banten.

Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan namun Sultan Haji meminta bantuan VOC sehingga Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak sembari melakukan serangan meskipun dengan bergerilya.

Tentara VOC terus memburu hingga akhirnya Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat.

Sultan Ageng ditawan di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1692.

Meskipun Sultan Ageng telah wafat, semangat juang telah terwariskan kepada para pengikutnya, sebagai contoh pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa.

Pada bulan November 1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa.

Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus.

VOC yang tidak mau dipermalukan melancarkan serangan pada tahun 1751 dengan mengerahkan pasukan gabungan yang jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus.

Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC. Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya.

Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.

E.Perlawanan Gowa

Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara.

Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa.

Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa saja.

Masyarakat Gowa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa.

Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata:

“Tanahku terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut; tanah dibagikan-Nya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.”

Dengan prinsip keterbukaan dan kebersamaan itu maka Gowa cepat berkembang.

Dengan melihat peran dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Gowa.

VOC ingin menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan.

Pada tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau, yang ada.

Oleh karena itu, saat kapal-kapal VOC sedang patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.

Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan provokatif itu.

Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC seperti membangun benteng pertahanan sepanjang pantai dan melakukan koordinasi dengan sekutu.

Sementara itu, VOC juga mempersiapkan diri untuk menundukkan Gowa dengan menggunakan Politik devide et impera yang mulai dilancarkan.

VOC menjalin hubungan dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka.

Tanggal 7 Juli 1667, meletus Perang Gowa.

Tentara VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman, diperkuat oleh pengikut Aru Palaka dan ditambah orang-orang Ambon di bawah pimpinan Jonker van Manipa.

Kekuatan VOC ini menyerang pasukan Gowa dari berbagai penjuru dan berhasil mendesak pasukan Hasanuddin.

Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka.

Hasanuddin kemudian dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya adalah:

  • Gowa harus mengakui hak monopoli VOC.
  • Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Gowa.
  • Gowa harus membayar biaya perang.

Sultan Hasanuddin tidak ingin melaksanakan isi perjanjian itu, karena isi perjanjian itu bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Gowa atau Makassar.

Pada tahun 1668 Sultan Hasanuddin mencoba menggerakkan kekuatan rakyat untuk kembali melawan kesewenang-wenangan VOC itu namun berhasil dipadamkan oleh VOC.

Bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa jatuh dan dikuasai oleh VOC.

Benteng itu kemudian oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam.

Dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin harus melaksanakan isi Perjanjian Bongaya.

Meskipun begitu, pada kenyataannya VOC tidak mampu mengendalikan dan memaksakan monopoli perdagangan di perairan Indonesia Timur.

Heather Sutherland menjelaskan kegagalan VOC mengendalikan perdagangan di perairan Indonesia Timur yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar itu, karena beberapa alasan yaitu:

  • ketidakmungkinan membatasi perdagangan yang didukung dengan motif mencari untung dipadu dengan kondisi geografis yang sulit terpantau sehingga mudah untuk melakukan penyelundupan dagang
  • VOC memiliki kelemahan dalam pemasaran, karena mengejar keuntungan yang tinggi dan tidak mampu membangun jaringan dengan pasar lokal/tidak paham dengan selera pasar lokal
  • keterlibatan VOC dalam pembelian produk-produk lokal sangat kecil, termasuk produk-produk laut, sementara para pedagang Cina sangat menghargai produk lokal dan produk-produk laut ini. Akhirnya VOC tidak mampu bersaing dengan pedagang Cina dan pribumi